AL-
QUR’AN
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab:
القرآن) adalah kitab suci
agama Islam.
Umat Islam
percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia,
dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana
yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.[1]
Etimologi
Ditinjau dari segi kebahasaan,
Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau
"sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk
kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep
pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri
yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,)
jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
Terminologi
Sebuah sampul dari mushaf Al-Qur'an.
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan
Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta
diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni
mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah
yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul,
dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah,
yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan definisi tersebut di atas
sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi
Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat
yang diturunkan kepada umat Nabi Musa
AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa
AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi,
tidak termasuk Al-Qur’an.
Nama-nama
lain Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat
beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada
Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang
mencantumkannya:
- Al-Kitab QS(2:2),QS (44:2)
- Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
- Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
- Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
- Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
- Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
- Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
- Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
- At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
- Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
- Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
- Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
- Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
- Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
- An-Nur (cahaya): QS(4:174)
- Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
- Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
- Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
Struktur
dan pembagian Al-Qur'an
Al-Qur'an yang sedang terbuka.
Surat,
ayat dan ruku'
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian
yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di
mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi
atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
Makkiyah
dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat
diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah
(surat Mekkah)
dan Madaniyah
(surat Madinah).
Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di
mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah
digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Surat yang turun di Makkah pada
umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq,
panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah pada
umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari'ah).
Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada
surat Madaniyah yang turun di Mekkah.[rujukan?]
Juz
dan manzil
Dalam skema pembagian lain,
Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal
dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan
bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil
memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7
hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan
pembagian subyek bahasan tertentu.
Menurut
ukuran surat
Kemudian dari segi
panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi
empat bagian, yaitu:
- As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
- Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
- Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
- Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
Sejarah
Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12
Al-Qur'an memberikan dorongan yang
besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari
Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika
penulisan sejarah
yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
Penurunan
Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus.
Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh
para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.
Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah
SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah.
Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan
surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Penulisan
Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk
teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian
transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada
zaman khalifah
Utsman bin Affan.
Pengumpulan
Al-Qur'an pada masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW
masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an
yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab.
Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak
diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang
belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
Pengumpulan
Al-Qur'an pada masa Khulafaur Rasyidin
Pada
masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar,
terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang
mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang
signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut
lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an
yang saat itu tersebar di antara para sahabat.
Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit
sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut
selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu
Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf
tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf
dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada
masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3
yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an
(qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal
dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia
mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang
dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar
tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani
yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh
mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk
dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten
terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan
dan pembacaan Al-Qur'an.
“
|
Suwaid bin Ghaflah berkata,
"Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah,
apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas
persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at
ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya
lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami
berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat
bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan
perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
|
”
|
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan
dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa
yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah
selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu
Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan
tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan
Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan
memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang
Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun
dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada
Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman,
Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
Upaya
penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan
maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan
penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian
hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk
menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan
terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil
usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan
usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap
sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu
lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi;
kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi
(kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia di
antaranya dilaksanakan oleh:
- Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
- Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
- An-Nur, oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
- Al-Furqan, oleh A. Hassan guru Persatuan Islam
Terjemahan dalam bahasa Inggris
antara lain:
- The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
- The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
Terjemahan dalam bahasa daerah
Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
- Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
- Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
- Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
- Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
- Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
- Al-Amin (bahasa Sunda)
- Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Bugis (huruf lontara), oleh KH Abdul Muin Yusuf (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Sidrap Sulsel)
Tafsir
Upaya penafsiran Al-Qur'an telah
berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal
menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu.
Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih
dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang
digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga
perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir
dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak
ilmiah.
Adab
terhadap Al-Qur'an
Ada dua pendapat mengenai hukum
menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan
nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang sedang mengalami
kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci. Sedangkan
pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an, karena
tidak ada dalil yang menguatkannya.[3]
Pendapat
pertama
Sebelum menyentuh sebuah mushaf
Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu
dengan berwudhu.
Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an
ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul
Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)
Penghormatan terhadap teks tertulis
Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar
Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an
adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk
mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam
waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
Pendapat
kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang
dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada yang dapat
menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz
sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para
Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari
Ibnu Abbas
dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir
di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang
Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa
jikalau memang benar demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka
artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang
suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek).
Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an)
kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan
sebagai faa’il (subyek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an
kecuali orang yang suci” [4]Yang
dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an
kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana
sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”[5]
Hubungan
dengan kitab-kitab lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab
yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama
Islam (Taurat,
Zabur,
Injil,
lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya
terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang
tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan
kitab-kitab tersebut:
- Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
- Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
- Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
- Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.
Sains Modern
Kehidupan di muka bumi ini bermula
sekitar 3½ miliar tahun yang lalu. Sejak itu pelbagai organisme bersaing satu
sama lain untuk bertahan hidup, dengan begitu ber‘evolusi’ menghasilkan aneka
ragam spesies baru yang semakin lama semakin canggih. Sampai kemudian muncul
spesies baru bernama manusia yang dengan akalnya mulai mencari asal-usul
kehidupan. Ribuan bahkan jutaan tahun berlalu tak seorangpun konon berhasil
memberi jawaban memuaskan. Baru pada tahun 1735 Carolus Linnaeus dari Swedia
menjadi ‘manusia pertama’ yang membuat klasifikasi berdasarkan kemiripan dan
memberikan ‘nama saintifik’ bagi tiap-tiap spesies. Dan baru pada tahun 1859
teka-teki biologi tersebut berhasil dipecahkan oleh saintis Inggris bernama
Charles Darwin. Manusia, sebagaimana spesies lain, ‘muncul’ (evolved) dengan
sendirinya dari proses seleksi alam.
Jika dipikirkan kembali, dongeng
evolusi ini tidak hanya sarat dengan khayalan tetapi juga berunsur penghinaan.
Pertama, kendati berangkat dari kajian empiris selama pelayarannya di Amerika
Selatan, penyimpulan Darwin lebih bersifat dugaan (conjecture) ketimbang
kepastian. Dalam konstruk epistemologi Islam, pengetahuan semacam ini disebut
zhann atau sangkaan. Validitasnya hanya sedikit lebih tinggi dari keragu-raguan
dan kira-kira (wahm). Pengetahuan yang dibangun diatas teori serupa ini tidak
sampai derajat yakin. “Mereka sekadar mengikuti sangka belaka, padahal sangkaan
itu tidak bisa menggantikan kebenaran,” firman Allah dalam al-Qur’an (53:28).
Kedua, cerita evolusi itu juga mengesankan seolah-olah bangsa kulit putih
sajalah yang paling hebat. Tak salah jika banyak yang menyebutnya ‘heroisme
kolonial’.
Anehnya, khayalan Darwin itu
menjelma jadi dogma. “Susah, pak, menolak teori evolusi kalau ingin menjadi
ahli biologi sekarang ini,” ujar sahabat saya dari Unibraw, Malang. Ia ibarat
rukun iman bagi biolog modern. Tapi justru di sinilah letak persoalannya.
Ilmu-ilmu alam (natural sciences) yang kita pelajari dan kita ajarkan kepada
siswa dan mahasiswa adalah ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh
bangsa-bangsa Eropa sejak 500 tahun terakhir. Mulai dari ilmu-ilmu alam hingga
ilmu-ilmu sosial atau humaniora. Tak mungkin dipungkiri, ilmu-ilmu tersebut
jelas diwarnai oleh akidah alias Weltanschauung ilmuwan bersangkutan. Secara
sadar ataupun tidak, pelbagai disiplin ilmu yang kita konsumsi sekarang ini
mengandung unsur-unsur halus naturalisme, materialisme, dan sebagainya.
Tak jauh beda khayalan ilmiah
mengenai alam semesta. Konon, kata para saintis, alam semesta ini ‘muncul’
akibat ledakan mahadahsyat (Big Bang) yang terjadi sekitar 13.700 juta tahun
silam. Kalau tidak percaya silakan hitung sendiri, kata seorang teman setengah
berguyon. Ledakan tersebut melontarkan materi dalam jumlah sangat besar ke
segala penjuru. Materi-materi itulah yang mengisi alam semesta ini, yang
kemudian dinamakan bintang, planet, debu kosmis, asteroid, meteor, energi, dan
sebagainnya. Maka dikhayalkan bahwa alam semesta ini terbentuk dengan
sendirinya dan akan terus menerus ada. Gambaran ini jelas memantulkan pandangan
materialistis yang menafikan kewujudan Tuhan.
Namun sayang sekali kebanyakan
ilmuwan kita seperti tidak berkutik di hadapan sains modern. Jauh dilubuk hati
mengakui Allah sebagai pencipta dan berkuasa atas segala sesuatu dari partikel
terkecil hingga galaksi dan jagat raya. Tetapi dalam pikiran bertahta saintisme
beserta hulu-balangnya. Disaat kaum Muslim berlomba-lomba mengejar mantan
penjajah mereka dalam bidang sains dan teknologi, seruan ‘islamisasi’ memang
terdengar aneh. Apakah kaum Muslim harus menolak sains modern? Oh, bukan itu
maksudnya.
Islamisasi bermula dari kerangka
berpikir, ‘worldview’ yang terdiri dari gugusan konsep-konsep Islami berkenaan
dengan Tuhan, Wahyu, Nabi, Ilmu dan seterusnya. Ia berfungsi sebagai filter
penyaring dan penepis elemen-elemen yang tidak sesuai atau bertolak-belakang
dengan konsep-konsep Islami tersebut. Ini karena sesungguhnya cara kerja
pikiran kita tak ubahnya bagaikan sistem metabolisme badan. Meminjam ucapan
Seyyed Hossein Nasr, penulis buku Science and Civilization in Islam: “Tidak
pernah ada sains yang diserap ke dalam sebuah peradaban tanpa penolakan sedikit
pun. Mirip dengan tubuh kita. Kalau kita cuma makan saja, tetapi badan kita
tidak mengeluarkan sesuatu, maka dalam beberapa hari saja, kita akan mati.
Sebagian makanan perlu diserap, sebagian lagi harus dibuang (No science has
ever been integrated into any civilization without some of it also being
rejected. It’s like the body. If we only ate and the body did not reject
anything we would die in a few days. Some of the food has to be absorbed, some
of the food has to be rejected).” Artinya, kita hanya perlu bersikap lebih
kritis dan selektif terhadap sains modern.
0 comments:
Post a Comment